Mata tak
kunjung terpejam, malam ini terlalu dingin. Meski sudah terhalang oleh lebatnya
pohon edelweiss tapi angina tetap saja masuk. Setelah dicek ternyata resleting
pintu jebol, menganga membiarkan angina masuk begitu saja tanpa permisi. Pantas
saja dingin terasa menusuk hingga ke sum-sum padahal sudah pake sleeping bag
dan jaket yang tebal. Aku dan Iqbal berusaha memperbaiki resleting agar bisa di
tutup kembali, namun usaha kami sia-sia. Dingin membuat jari mati rasa dan tak
dapat bekerja secara maksimal. Di tengah kebuntuan harus dengan cara apa
mengatasi masalah ini, teringat bahwa aku membawa peniti.
Meski pada
awalnya benda ini tampak tak begitu berguna, namun pada kondisi seperti ini
penting fungsinya. Kami menutup pintu tenda dengan peniti untuk sementara,
setidaknya untuk sepanjang malam ini atau setidaknya sampai badai mulai mereda.
It works, meski tak tertutup secara sempurnya, dengan peniti itu dapat
menghalangi agar angin tidak masuk seenaknya.Kembali masuk ke sleeping bag dan
menikmati badai dari dalam tenda.
Malam semakin
larut, badai semakin menderu deru. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak dibalik suara hembusan angin yang membawa kabut. Aku kira sesuatu yang
buruk telah terjadi, pohon tumbang menimpa tenda, tenda terbang atau entah yang
lain mungkin saja telah terjadi. Ku dengarkan dulu percakapan mereka untuk
mengetahui apa yang terjadi, karena untuk membuka pintu agak susah.Entah aku
tak terlalu mengerti apa yang mereka katakana tetapi aku sedikit mengerti
tentang maksud yang mereka katakan.
Di tengah
badai itu ada sekelompok pendaki yang baru tiba, mereka berencana mendirikan
tenda ditempat ini, tapi sayang sudah penuh sehingga mereka berdebat untuk
melanjutkan perjalanan atau memaksakan mendirikan tenda. Dari percakapan itu
ada salah seorang yang sudah kecapekan, tapi ada salah seorang yang tetep ingin
menlanjutkan pendakian, cari tempat yang lebih luas. Akhirnya ada yang mulai
emosi, kemudian ada orang lain yang datang melerai, dan suasana kembali hening.
Akhirnya mareka mendirikan tenda di celah-celah semak dan edelweiss tepat di
sebelah tenda kami.
Gara gara
perdebatan mereka mataku susah kembali terpejam, aku jadi berusaha
mengintrospeksi diri. Semoga nanti secapek-capeknya tubuh ini tetap bisa
mengendalikan diri, menahan ego untuk kepentingan bersama. Teringat pepatah
yang pernah kudapatkan dulu ketika pengen jadi mapala.
"If you want
go fast go alone, if you want go far, go together”
Maknanya dalam,
kalo pengen perggi cepat pergi sendiri, kalo pengen pergi jauh pergi bareng-bareng.
Karena bareng bareng bakal ada yang saling menguatkan. Kalo pergi sendiri bisa
pergi kapan saja semaumu, tapi itu takkan jauh. Tak ada yang menguatkan, taka
da yang bisa jadi tempat berbagi dengan yang se rasa se penanggungan.
Gara-gara
naik gunungnya sama anak fisika, jadi keinget rumus fisika ini
P = tekanan, gaya
yang bekerja pada tiap satuan luas, namun kali ini di modifikasi jagi gaya yang
bekerja pada setiap satuan orang.
F = Gaya
A = luas
penampang, namun kali ini dimodifikasi jadi banyaknya orang.
Dari rumus itu
tekanan akan semakin kecil apabila banyak orang yang merasakan gaya yang
bekerja, susah senang dirasakan bersama. Kalo ada yang susah yang lain harus
saling membantu, biar dia tidak menderita dan mati sendirian. Rumus itu, rumus
modifikasi yang diajarkan dulu pas pengen jadi anak mapala.
Angin dingin
yang membawa kabut ternyata juga membawa rasa kantuk, dan perlahan mata terpejam.
Selamat pagi
merbabu,
Alarm membangunkanku,
bukan alarmku tapi alarm teman setenda. Ini yang kadang bikin kesel, alarm siapa
yang bunyi yang bangun siapa, yang punya alarm masih tidur dengan pulasnya. Berhubung
sudah subuh sholat subuh dulu gan.
Pas keluar tenda
buat nyari embun dipake buat wudhu, Wow, cuacanya cerah bung, cahaya jingga
terlihat jelas di kaki langit timur sana. Langsung bergegas tunaikan kewajiban
untuk menikmati keindahan yang mungkin dicari-cari para pendaki.
Ambil jaket,
bangunin yang lain, siapkan kamera, dan selamat menikmati pagi. Pagi ini indah
bukan?
Sayangnya keindahan
tak berlangsung lama, kabut perlahan turun menghalangi matahari yang ingin
membawakan kehangatan bagi kami yang kedinginan. Sang merapi yang begitu gagah
tepat berada di belakang kami, sepertinya dia juga kedinginan. Suhu udara waktu
itu 15 derajat Celcius, tidak terlalu dingin, tapi angin yang cukup kencang
hingga menembus di celah-celah sempit jaket membuat udara terasa begitu dingin.
Pagi-pagi enaknya
ngopi-ngopi dulu.
Puas menyapa
fajar, sekarang saatnya menikmati birunya api kompor ditambah secangkir kopi
panas. Kami masak-masak dulu, baru lanjut ke puncak.
Jalur menuju
puncak secara umum mendaki, tapi pada beberapa tempat cukup landai untuk
dilalui. Tapi kabut menghalangi pandangan kami sehingga mental tetap terjaga
meski ada tanjakan panjang didepan sana.
|
Dilah- cerah bentar, "cekrek..." |
Sesekali cerah,
namun lebih sering berkabut. Ketika kabut pergi, pemandangan indah ada di bawah
sana, namun tanjakan terjal nan panjang ada di depan sana. Mental naik dan
turun pada waktu yang bersamaan.
|
Meski berkabut, gas gas aja bro. soalnya nggak keliatan depan kondisinya gimana |
Selama hampir 3
jam pendakian, akirnya sampai juga di puncak, sempat cerah sebentar namun kabut
kembali datang. Tuhan juga tahu kami butuh penawar letih, kabut kembali datang
menyadarkan bahwa semua yang ada di dunia ini dikendalikan oleh Tuhan.
|
Statistik pendakian menuju Puncak dengan menggunakan aplikasu My Tracks. Lama jalan sama istirahatnya sama he.he |
|
Bagan, gambaran kondisi medan yang dilalui (garis ijo) vs kecepatan (garis biru) masih pake My Tracks juga |
|
Dipuncak, cerah, "cekrek" |
Berada di tempat
tinggi, semakin terasa dekat dengan Tuhan, berhasil menginjakkan kaki di tempat
tinggi namun hati perlahan turun di tempat yang rendah. Menerima fakta bahwa
manusia itu sangat kecil, karena kecilnya manusia takkan berdaya melawan alam,
melawan keagungan Tuhan.
Semakin siang
semakin ramai, namun cuaca tak kunjung membaik. Meski ramai kebanyakan di isi
oleh manusia batangan, alhasil teman kami yang dari jogja jadi sasaran buat
diajak foto.
Puas di puncak, kami memutuskan untuk turun gunung, kembali ke tempat camp. Melewati jalan
yang sama ketika naik tadi. Kami bisa turun dengan berlari, tentusaja bagi yang
lututnya masih kuat. Kalau nggak kuat awas jebol, bahaya.
Setiap kali
melewati turunan curam, kadang merasa, tadi kita lewat sini? Ya, kabut berhasil
mengelabui kami. Kadang juga merasa tadi pas naik kita susah-susah kesana, tapi
pas turun bisa dengan mudahnya. Mungkin ini adalah setelah ada kesulitan pasti
ada kemudahan, setiap ada tanjakan pasti ada turunan, ada integral ada juga differensial-jadi
inget kalkulus.
Sampe di camp,
masak-masak dulu, makan siang lalu turun. Jangan harap ada menu rumahan, nasi +
mie + sosis cukup menjadi hidangan terakhir di merbabu. Meski sederhana,
nikmatnya begitu terasa, disamping karena laper dan nggak ada makanan lain. Mungkin
manusia harus menderita dulu buat tahu apa namanya nikmat.Selesai makan, bongkar
tenda, packing, dan tidak lupa sampah juga kami bawa, kami kembali ke basecamp.
Pas turun di
dekat bukit selo, banyak pemandangan yang tidak enak dipandang buat para
jomblo. Disana ketemu sepasang pendaki yang juga baru turun, si cewek kakinya
kram, berjalan tertatih tatih sambil ujan-ujanan. Cowoknya jalan duluan
didepan, tapi sambil bawain cariernya sih. Tapi tetep aja kasian si mbak-mbak
ini, kami berinisiatif buat ngasih ponco cadangan, meski ponco plastic murahan
semuga cukup melindungi mbaknya dari dinginnya air hujan. Semoga langgeng ya
mbak, nggak Cuma naik gunung bareng, naik pelaminan juga bareng.
Kami terus jalan,
ketemu lagi sama pasangan yang sama menyedihkannya seperti tadi, kali ini lebih
parah. Tadinya jalan bareng, payungan bareng, ujan-ujanan bareng, romantisnya. Tapi
begitu hujan tambah deras, masnya jalan duluan mbaknya ditinggalin di belakang
ujan-ujanan, nggak pake sandal, sambal nenteng sepatu hak tinggi (aku
menyebutnya sepatu kuda). Pengennya minjemin sandal ke mbaknya, tapi sayang
kami nggak bawa sandal, nemenin jalan bareng nggak apa mbak ya..
|
Jomblo jangan baper |
Adzan asar baru
saja selesai berkumandang setibanya kami di basecamp. Kami ngeteh-ngeteh dulu,
sama mandi dulu. Aku duduk di depan tungku sambil menikmati the panas, bareng
sama pendaki dari Ungaran. Kebeneran, tempat mereka searah dengan jalan pulang
kami. Setelah trauma dengan jalan yang kami lewati kesini kami meminta
rekomendasi jalan kearah Semarang, mereka merekomendasikan lewat Ampel Boyolali, atau Kota boyolali. Kalau lebih cepet lewat Ampel, tapi jalannya agak
rusak, akupun sedikit tau jalan ini, karena berdekatan dengan lokasi pemetaanku
di semester ini. Setelah semua beres, kampi pamitan pulang dan langsung
berpencar menuju kota masing masing. Aku dan Iqbal ke Tembalang, Dilah dan Tris
kembali ke Pogung.
Perjalanan pulang,
Perbaikan janan
di Boyolali cukup membuat waktu perjalanan menjadi lebih lama, ditambah dengan
kondisi jalan yang berlumpur karena hujan, antrian kendaraan yang panjang,
karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, kami harus bersabar ditengah hujan
deras ini. Entah di saat seperti ini ada saja pikiran melintas, barusaja
teringat ada tugas kuliah yang harus dikumpul besok, dan kami belum ngerjain
sama sekali, ada ujian juga besok pagi. Oh sepertinya malam ini akan menjadi
malam yang panjang.
Hujan masih saja
deras, dan malam semakin gulita. Derasnya hujan mengurangi jarak pandang dengan
sangat drastis, aku tidak bisa
membedakan lubang jalan dan genangan, jalan lurus atau belok. Benar-benar
samasekali tanpa penerangan. Demi keselamatan, kami memutuskan untuk istirahat
sejenak sambil makan malam. Untuk menjaga konsentrasi juga menghalau angin tidak
bersarang di pencernaan.
Hujan belum
juga reda, makanan dan kopi kami sudah tandas semua, menunggu hujan reda sama
saja menunggu ketidak pastian, sedangkan masih ada pekerjaan menunggu dikosan. Setelah
banyak pertimbangan akhirnya kami menerobos lebatnya hujan dan gelapnya malam.
Memikirkan tugas
yang sudah menunggu dikosan membuatku semakin ceroboh, tetap memacu kendaraan
dengan kecepatan tinggi meski tak tau kondisi jalan yang dilalui. Lubang jalan
dan genangan air tak ada bedanya, sampai kecerobohan ini nyaris membawa
petaka.ban motorku terperosok lubang yang dalam, membuat Iqbal dibelakang
terpental dan nyaris terjatuh, sedangkan tepat dibelakang ada truk pembawa
pasir dengan jarak yang tak terlalu jauh. Suara klakson terdengar keras sebagai
peringatan akan terjadi tabrakan, tapi untung kami langsung bisa mendapatkan
keseimbangan dan terhindar dari kecelakaan. Dari hal ini kami semakin sadar,
pemahaman medan selama perjalanan itu sangat penting. Demi keselamatan karena
kami tak hafal medan, kami memilih membuntuti truk, sepertinya mereka juga
menuju Semarang.
Setelah berjalan
dibawah ketidaktahuan akhirnya kami menemukan peradaban, jalanan ini berujung
di jalan raya Salatiga-Boyolali. Aku hafal jalan ini dan mulai percaya diri
untuk memacu motor di kecepatan tinggi, sedikit ugal-ugalan dijalan berakibat
kami kejar-kejaran sama mobil mewah yang sama ugal-ugalannya. Aku membencinya karena
dia ugal-ugalan, dan sepertinya mereka juga benci kami yang juga ugal-ugalan. Saling
balap ini berakhir pada kemacetan, dia terjebak dan semakin tertinggal jauh
dibelakang.
22.00 WIB-
Tembalang
Alhamdulillah,
setelah perjalanan panjang nan menegangkan kami tiba di Tembalang. Meski lelah,
malam ini kami harus begadang menyelesaikan kewajiban yang sempat di
tinggalkan. Inilah konsekuensi yang harus kami terima.